Toh, anak
psikologi ada yang tidak seempati anak eksak...
Toh, anak
sastra ada yang bahasanya tidak sebaik dan selembut anak teknik...
Toh, anak eksak
kadang tidak selogis anak non eksak ketika menyelesaikan masalah...
Yups...selalu ada yang paradoks.
WARNING : this
article not for expose the ignominy, just share...
Paradoks
pertama...
Pernah dengar kasus paradoks
kembar dalam Teori Relativitas Khususnya Einstein? Digambarkan dalam teori ini
bahwa sepasang saudara kembar, sebut saja X dan Y yang bermukim di Bumi. Andaikan
salah satunya, X tetap berdiam di Bumi, sedangkan sudara kembarnya Y melakukan
perjalanan antariksa dengan sebuah pesawat roket menuju suatu planet yang jauh.
X memahami teori relativitas khusus bahwa jam saudaranya Y akan berjalan lambat
relatif terhadap jam miliknya. Karena itu Y akan lebih muda daripadanya ketika
ia tiba kembali di Bumi. Ini tidak lain merupakan efek dari pemuluran waktu.
Dalam teori relavitias khusus, dua pengamat yang bergerak relatif masing-masing
akan berpendapat bahwa jam sudara kembarnya yang berjalan lambat. Sedangkan
dari sudut pandang Y, bahwa X dan Bumilah (bersama dengan sistem tata sutya dan
galaksi) yang melakukan perjalanan pulang-pergi menjauhinya kemudian kembali
lagi. Dalam keadaan seperti ini Y akan berpendapat bahwa jam saudara kembarnya
X yang berjalan lambat, sehingga bagi Y saudara kembarnya X yang lebih muda
daripadanya ketika mereka bertemu kembali.
Memang mungkin saja timbul
ketidaksepahaman tentang jam siapakah yang berjalan lambat terhadap jam milik
masing-masing saudara kembar ini, namun ini hanyalah masalah pemilihan kerangka
acuan. Inilah paradoksnya masing-masing saudara kembar itu memperkirakan bahwa
yang lainnya yang lebih muda. Pemecahan bagi paradoks ini terletak pada
peninjauan kita yang tidak simetris terhadap peran kedua saudara kembar itu.
Hukum-hukum Relativitas Khusus hanya berlaku bagi kerangka lembam yang bergerak
relatif terhadap kerangka lainnya dengan kecepatan tetap. Trus hubungannya
dengan dakwah kampus? Ya, bila dikaitkan dengan dakwah kampus, saudara kembar
tersebut merupakan aktivis-aktivis dakwahnya, waktu/jam adalah fenomena-fenomena
yang ada di dakwah dan kerangka acuan merupakan sudut pandang para pelaku
dakwah kampus. Oke, itu gambaran singkat kaitan antara Fisika dengan dakwah
mengenai paradoks #loh
Paradoks kedua
...
Di dunia ini siapa sih yang gak
suka dengan sesuatu yang bersih? Tidak ada. Semua orang menyukai sesuatu yang
bersih, baik pakaian bersih, tempat tinggal bersih dan makanan bersih. Tapi
sayangnya tidak semua orang yang menyukai kebersihan juga mencintai kebersihan.
Loh, bedanya menyukai dengan mencintai apa? Kalau menyukai baru berupa
keinginan belum berupa tindakan untuk mewujudkan atau mencapainya jadi belum
tentu ada rasa memiliki atau bagian darinya, sedangkan mencintai adalah rasa
ingin yang diwujudkan dengan tindakan untuk mencapainya dan merasa bagian darinya
(definisi saya sendiri, he). Jadi belum
tentu orang yang suka kebersihan sudah mewujudkan sikap bersih. Oke, kita usah
berlama-lama dalam membahas definisi yang penting ngerti maksudnya.
Dari sekian banyak berinteraksi
dengan orang-orang, saya menemukan dua macam kategori orang seperti yang saya
jelaskan diatas. Yang menarik dari bahsan ini adalah apabila kita hubungkan
dengan konteks dakwah kampus, yaitu para pelaku dakwah kampusnya atau bahasa
kerennya aktivis dakwah. Kebersihan adalah hal penting yang perlu dibahas dalam
dunia dakwah. Karena kebersihan adalah dakwah. Beberapa teman akhwat yang saya
kenal, mereka sangat memperhatikan hal ini, mereka tergolong kategori aktivis
yang mencintai kebersihan. Mereka tidak hanya bersih tampak luar tapi bersih
juga tampak dalam. Mereka yang tidak nyaman apabila suasana kamar kosnya
berantakan, tidak akan konsentrasi belajar bila kamar kotor, tidak pede bila
keluar dengan pakaian kusut yang melekat (belum disetrika), risih bila
meningggalkan cucian baju terlalu lama, sumpek bila piring atau alat-alat dapur
kotor berantakan setelah dipakai, tidak akan membiarkan debu di lantai dan
jendela kamar menumpuk hingga ketebalan 1 cm,
selalu memastikan rak buku tersusun rapi dan baju tertata rapi di
lemari, senantiasa menjaga kondisi badan dan pakaian bersih dari kotoran dan
najis, menjaga tubuh tetap segar (tidak BeBe dan BeMu), selalu memperhatikan
kebersihan (halal dan thoyib) makanan yang dimakan. Kalau hal-hal tersebut
terjadi pada mereka yang bukan aktivis dakwah maka tidak berlebihan bila
mengacungkan jempol untuk mereka, tetapi bila hal-hal tersebut terjadi pada
para aktivis dakwah maka rasanya tidak perlu mengacungkan jempol kepadanya,
kenapa? Karena itu sudah merupakan suatu kewajaran, keniscayaan untuk semua aktivis
dakwah yang notabene pengetahuan keIslamannya lebih banyak. Walapun jujur, ada
rasa salut kepada aktivis dakwah yang terus menjunjung tinggi nilai-nilai
kebersihan disamping banyak hal-hal lain yang dilakukan oleh para aktivis
dakwah yang tidak dilakukan oleh mereka yang bukan aktivis. Tapi, ini bukan
suatu yang luar biasa, karena sekali lagi ini merupakan suatu yang memang
seharusnya ada pada setiap aktivis, titik.
Paradoks. Ikhwan-akhwat yang aktif di banyak kegiatan dakwah kampus,
bahkan sampai diamanahi di salah satu struktur di suatu daerah, aktivitasnya
banyak, ngajar ini itu, syuro ini itu, tapi betah melihat kain cuciannya
diremdam sampai berhari-hari (bahkan sebulan lebih) dan menimbulkan banyak efek
bagi lingkungan: bau tidak sedap, mendzalimi teman2 kos karena embernya milik
bersama, dan akhirnya timbullah makhluk baru bernama “belatung” yang keluar
dari rendeman cucian itu!!! #horor. Kasus masak dan nyuci piring tidak kalah
horor, baik karena hobi atau kepepet
kebutuhan untuk masak tapi sayangnya tidak bertanggung jawab terhadap hobinya.
Setelah masak dapur jadi korban, alat-alat masak kotor berantakan serta timbul
bau tak sedap. Setiap orang yang ke dapur atau yang melewati dapur rata-rata
akan timbul rasa kesel. Ditunggu setengah hari..satu hari..dua hari..tiga
hari..tapi alat-alat masak tersebut masih dalam keadaan tragis &
mengenaskan. Belum lagi masalah nyapu, ngepel, dll. Jangan mimpi kalau itu
akhwat mau membersihkan ruangan umum dikos, wong
kamarnya sendiri aja kayak kapal pecah, dia betah-batah aja. Na’udzubillah. Walau kasus yang saya
liat dengan mata kepala sendiri adalah akhwat tapi kasus ini juga sangat mungkin
terjadi pada ikhwan.
Paradoks
ketiga...
Pernah beberapa kali ada teman
yang curhat dan bahkan saya pun juga menjadi saksi mata untuk kasus paradoks
kali ini. Jadi, ada ikhwah dinegeri antah berantah yang di laptopnya terbukti ada
video, film, gambar yang seharuanya tidak dimiliki, misal koleksi film2 Korea,
klip video ‘primitif’ (termasuk boyband, girlsband, atau apalah namanya), lagu-lagu jahiliyah, dll. Entahlah...apa
karena sudut pandang yang berbeda mengenai media/sarana berdakwah, yang
‘koleksi-koleksi’ tersebut biasanya menjadi dalih untuk strategi berdakwah.
Biar kita tau perkembangan zaman lah, biar kita bisa berdakwah melalui hal-hal
yang mereka (objek dakwah) sukai lah, sebagai boomerang untuk menyerang mereka
lah, apa lah... Hmm, tapi kok keliatannya tuh ikhlas banget ketika nonton film2
Barat/Korea sampai berjam-jam, Ikhlas juga ketika dengerin musik-musik atau
lagu-lagu sampai berjam-jam sampai hafal liriknya, gak kalah ikhlas ketika nonton
bola yang dibela-belain bergadang dan nongkrong di depan TV berjama-jam. Bukan
karena tidak sadar ikhwan/akhwat melakukan itu semua. Walau gak ada nash yang
secara spesifik mengatakan bahwa dengerin musik dan nonton bola itu haram, tapi
apakah kuantitias yang sudah kita habiskan untuk melakukan hal-hal tersebut
melebihi kuantitas tilawah dan hapalan qur’an kita, kuantitas membaca buku
kita, kuantitias mengikuti majelis ilmu, dll? Dihadapi dengan fenomena ini jadi
teringat kisah Bilal dan Abu Dzar Al-Ghifari.
Pada
suatu hari, Abu Dzar Al-Ghifari terlibat percekcokan dengan Bilal. Karena
kesal, Abu Dzar berkata, “Engkau juga menyalahkanku
wahai anak perempuan hitam?” Mendengar dirinya disebut dengan anak perempuan
hitam, Bilal tersinggung, sedih, dan marah. Ia kemudian melaporkan hal itu
kepada Rasulullah Saw. Beliau kemudian menasihati Abu Dzar, “Hai Abu Dzar,
benarkah engkau mencela Bilal dengan (menghinakan) ibunya? Sungguh dalam dirimu
masih ada perilaku jahiliyah.”
Seandainya Rosulullah SAW ada
pada saat ini, mungkin tidak ya kita juga diberi predikat “Sungguh dalam dirimu
masih ada perilaku jahiliyah”.
Paradoks keempat...
Salut deh sama teman-teman
ikhwah yang disiplin ketika syuro, bila
jadwal syuro jam 6 pagi maka teman-teman jam 6 teng sudah berada di TKP syuro
dengan wajah semangat, apalagi kalau dilengkapi dengan hidangan snack sambil
mendengarkan lantunan ayat suci dan tausiyah singkat yang sudah menjadi susunan
acara baku mengawali bahasan syuro. Ada rasa berdosa ketika datang telat tanpa
alasan syar’i bahkan alasan yang dibuat-buat. Paradoksnya, sering juga ditemui
pemandangan para aktivis dakwah yang ketika kuliah mulai jam 7 teng tapi kok
jam 8 baru terlihat di kelas ya? Ketika di kelas lebih memilih menjadi kaum
terbelakang (karena suka dengan tempat duduk bagian belakang), sangat tawadhu’
ketika sedang kuliah dengan posisi wajah tertunduk khusyu’ dan mempersilahkan
teman-temannya yang lain untuk berfastabiqul khairat menjawab pertanyaa-pertanyaan
dan berdiskusi dengan dosen seputar bahasan kuliah. Saya sangat percaya kalau
ikhwah ditanyai alasan kenapa seperti itu jawabannya karena amanah kita banyak.
Oke, gak ada yang salah dengan banyaknya amanah, tapi yang membuat risih adalah
emang teman-teman dikelas dan dosen mau tau dengan amanah-amanah kita? Karena
yang mereka liat adalah tampak luar kita. Jilbab lebar yang suka telat dan
ngantukan, mahasiswa berjanggut yang sering bolos dan gak ngumpulin tugas, dll.
Kalau packagingnya gak bagus,
gimana orang mau tertarik dengan produknya...
Paradoks kelima...
Hampir rerata teman-teman aktivis
yang saya temui (termasuk saya) adalah aktivis yang bukan terlahir dari
keluarga aktivis. Jadi pasti punya kisah-kisah menarik yang bersejarah ketika
mereka terjebak menjadi yang seperti sekarang, aktivis dakwah. Di saat awal
dulu, salah satu yang membuat saya memilih mau terjebak dalam jalan ini adalah
karena Sang Bidadari (Murabbiyah/guru
ngaji) yang menginspirasi. Kesederhanaan, kegigihan, keikhlasan,
kekreativitasan, keprofesionalan, kesholihahan, kecerdasan beliaulah yang
membuat saya jatuh hati. Maka apabila ada pertanyaan, siapakah tokoh yang
menginsiprasi bagi anda? Dengan lantang saya akan menjawab, MR gue! (selain
Rosululloh, sahabat dan para ulama). Dengan izin Allloh lah sampai saat ini
saya sudah dikaruniai beberapa orang Bidadari, Alhamdulillah.
Beberapa kisah menarik pernah saya
alami bersama bidadari-bidadari tersebut. Pernah suatu ketika ada teman kami
sesama aktivis sebut saja X (ketua lembaga dakwah) sedang mengalami kesulitan
ekonomi yang bertubi-tubi dan kabar ini pun sudah terdengar dikalangan aktivis.
Maka secara khusus genk ngaji kami membahas masalah ini dan akhirnya
menghasilkan kesepakatan bahwa kami akan melakukan munashoroh secara periodik
sampai keadaan ekonomi keluarganya X membaik dengan tidak memberi tahu X dari
mana asal uang bantuan tersebut, munashoroh
(penggalangan dana bantuan) secara sembunyi-sembunyi. Hal ini dilakukan dengan
pertimbangan bahwa ingin menjaga nama baik X dan keluarga, agar X tidak merasa
berhutang budi kepada kami, agar si X tidak merasa ‘tidak enakan’ dan malu
ketika berinteraksi dengan kami dalam lembaga dakwah tersebut. Ya, hal tersebut
ternyata sebelumnya sudah dicontohkan Sang Bidadari dengan melakukan munashoroh seorang diri, kemudian beliau
memprakasai dan memotori aksi munashoro
berjama’i. Di lain waktu, salah satu teman genk ngaji kami sebut saja Y mengalami
kesulitan untuk datang ngaji dikarenakan jarak rumahnya yang jauh (2 jam
perjalanan) dan biaya tranportasi yang cukup mahal sedangkan keuangan teman
kami tidak memadai, mungkin alasan tersebut ‘cukup syari’ untuk membuat
seseorang tidak berangkat mengaji. Sekali lagi, melihat hal ini, Sang Bidadari
tidak akan berdiam diri, terlebih melihat semangat si Y dalam mengaji yang
berapi-api. Sekali lagi Sang Bidadari mempelopori dengan aksi ‘infaq sembunyi’
untuk teman kami Y agar ia bisa tetap mengaji. Kisah lainnya adalah, suatu
malam di kontrakan akhwat (tempat tinggal saya) tiba-tiba kedatangan seorang
tamu tanpa diketahui sebelumnya kalau tamu tersebut akan datang. Dan ternyata
orang yang dicari si Tamu tersebut adalah saya. KANGET! Ternyata yang datang
adalah sang Bidadari. Dalam hati, pasti ada sesuatu yang penting yang akan
disampaikan karena beliau bela-belain datang malam-malam begini dan tanpa
memberi kabar sebelumnya. Kemudian kami mengobrol di kamar. “Mbak kok datang
malem-malem, biasanya kalau ada apa-apa mbak sms/telpon dulu. Ada apa ya mba?”.
Sambil tersenyum, “Gak ada apa-apa dek, cuma mau jenguk anti aja,
silaturrahim”. Kemudian beliau mengeluarkan sesuatu dari tasnya, sebuah apel
merah yang cantik dan manis. “Ini buat anti, uhibbukifillah” sambil tersenyum kemudian berkata “mbak pamit
pulang ya, semoga suka dengan apelnya” sambil tersenyum. Aku membutuhkan waktu
beberapa menit untuk mencerna kejadian kilat tersebut. Oh Bidadariku...so sweet banget!!!
Tidak hanya kedekatan mereka (para
bidadari) kepada binaannya yang membuat saya terpesona, kedekatan mereka kepada
Sang Pencipta Bidadari lah yang mebuat saya lebih terpesona. Karena dengan
kedekatan mereka yang baik kepada Alloh SWT, maka dapat dipastikan
kedekatan-kedekatan mereka kepada manusia pun akan baik. Tilawah qur’an yang
baik, qiyamul lail yang istiqamah, infaq yang terus menerus, semangat tholabul ‘ilmy, tutur kata yang lembut,
berbobot dan terjaga, tingkah laku yang sopan santun, kedisiplinan,
kesungguhan, keikhlasan mereka yang akan melahirkan generasi-generasi penerus
yang baik pula.
Paradoks. Pernah mendengar kasus
atau bahkan mengalami sendiri kasus mengenai Murabbi/yah yang nyebelin? Sok sibuk banyak kegiatan, gak
perhatian, suka telatan, tilawahnya belepotan, di majelis ilmu jarang keliatan,
kamarnya berantakan, dll. Bahkan antara Murabbi
dengan Mutarabbinya lebih TOP Mutarabbinya. Hal demikian terjadi dalam
kehidupan dakwah kampus. Memalukan sebenarnya. Ada selentingan suara yang
berkata: “Murabbi juga manusia”. Ya
Murabbi memang manusia, manusia yang harus terdepan dalam kebaikan, dalam
keteladanan.
Seperti
pada fenomena paradoks pertama, bahwa timbulnya ketidaksepahaman akan suatu
fenomena yang terjadi memang tergantung dari kerangka acuan (sudut pandang) yang
digunakan olah masing-masing para pelaku. Berbeda sudut pandang akan berbeda
perlakuan dan penyikapan terhadap fenomena paradoks yang terjadi. Pada suatu
fenomena, si A mengangap hal tersebut adalah biasa sehingga tak perlu
dipermasalhkan, tapi menurut B hal tersebut adalah memalukan dan seharusnya
tidak terjadi. Pemecahan bagi paradoks ini terletak pada peninjauan kita yang
tidak simetris terhadap peran aktivis dakwah. Sudah semestinyalah sesuatu hal yang terkait suatu kebaikan (dakwah) harus
dilihat dari kerangka acuan yang sama, kerangka acuan Alloh SWT. Sehingga
apabila kerangka acuan yang digunakan sudah sama maka fenomena-fenomena
paradoks tersebut dapat di minimalisair bahkan seharusnya tidak terjadi. Semoga
bisa menjadi hikmah bagi kita semua khususnya saya untuk terus berbenah diri.
-----------
Ini ceritanya catatan kaki gituh...
paradoks : pernyataan yang seolah-olah bertentangan (berlawanan) dengan
pendapat umum atau kebenaran, tetapi kenyataannya mengandung kebenaran
Gajebo.. Curhat..apa tulisan..
BalasHapus