Kamis, 09 Agustus 2012

SELALU ADA YANG PARADOKS

Toh, anak psikologi ada yang tidak seempati anak eksak...
Toh, anak sastra ada yang bahasanya tidak sebaik dan selembut anak teknik...
Toh, anak eksak kadang tidak selogis anak non eksak ketika menyelesaikan masalah...
Yups...selalu ada yang paradoks.


WARNING : this article not for expose the ignominy, just share...

Paradoks pertama...

Pernah dengar kasus paradoks kembar dalam Teori Relativitas Khususnya Einstein? Digambarkan dalam teori ini bahwa sepasang saudara kembar, sebut saja X dan Y yang bermukim di Bumi. Andaikan salah satunya, X tetap berdiam di Bumi, sedangkan sudara kembarnya Y melakukan perjalanan antariksa dengan sebuah pesawat roket menuju suatu planet yang jauh. X memahami teori relativitas khusus bahwa jam saudaranya Y akan berjalan lambat relatif terhadap jam miliknya. Karena itu Y akan lebih muda daripadanya ketika ia tiba kembali di Bumi. Ini tidak lain merupakan efek dari pemuluran waktu. Dalam teori relavitias khusus, dua pengamat yang bergerak relatif masing-masing akan berpendapat bahwa jam sudara kembarnya yang berjalan lambat. Sedangkan dari sudut pandang Y, bahwa X dan Bumilah (bersama dengan sistem tata sutya dan galaksi) yang melakukan perjalanan pulang-pergi menjauhinya kemudian kembali lagi. Dalam keadaan seperti ini Y akan berpendapat bahwa jam saudara kembarnya X yang berjalan lambat, sehingga bagi Y saudara kembarnya X yang lebih muda daripadanya ketika mereka bertemu kembali.

Memang mungkin saja timbul ketidaksepahaman tentang jam siapakah yang berjalan lambat terhadap jam milik masing-masing saudara kembar ini, namun ini hanyalah masalah pemilihan kerangka acuan. Inilah paradoksnya masing-masing saudara kembar itu memperkirakan bahwa yang lainnya yang lebih muda. Pemecahan bagi paradoks ini terletak pada peninjauan kita yang tidak simetris terhadap peran kedua saudara kembar itu. Hukum-hukum Relativitas Khusus hanya berlaku bagi kerangka lembam yang bergerak relatif terhadap kerangka lainnya dengan kecepatan tetap. Trus hubungannya dengan dakwah kampus? Ya, bila dikaitkan dengan dakwah kampus, saudara kembar tersebut merupakan aktivis-aktivis dakwahnya, waktu/jam adalah fenomena-fenomena yang ada di dakwah dan kerangka acuan merupakan sudut pandang para pelaku dakwah kampus. Oke, itu gambaran singkat kaitan antara Fisika dengan dakwah mengenai paradoks #loh

Paradoks kedua ...

Di dunia ini siapa sih yang gak suka dengan sesuatu yang bersih? Tidak ada. Semua orang menyukai sesuatu yang bersih, baik pakaian bersih, tempat tinggal bersih dan makanan bersih. Tapi sayangnya tidak semua orang yang menyukai kebersihan juga mencintai kebersihan. Loh, bedanya menyukai dengan mencintai apa? Kalau menyukai baru berupa keinginan belum berupa tindakan untuk mewujudkan atau mencapainya jadi belum tentu ada rasa memiliki atau bagian darinya, sedangkan mencintai adalah rasa ingin yang diwujudkan dengan tindakan untuk mencapainya dan merasa bagian darinya (definisi saya sendiri, he).  Jadi belum tentu orang yang suka kebersihan sudah mewujudkan sikap bersih. Oke, kita usah berlama-lama dalam membahas definisi yang penting ngerti maksudnya.

Dari sekian banyak berinteraksi dengan orang-orang, saya menemukan dua macam kategori orang seperti yang saya jelaskan diatas. Yang menarik dari bahsan ini adalah apabila kita hubungkan dengan konteks dakwah kampus, yaitu para pelaku dakwah kampusnya atau bahasa kerennya aktivis dakwah. Kebersihan adalah hal penting yang perlu dibahas dalam dunia dakwah. Karena kebersihan adalah dakwah. Beberapa teman akhwat yang saya kenal, mereka sangat memperhatikan hal ini, mereka tergolong kategori aktivis yang mencintai kebersihan. Mereka tidak hanya bersih tampak luar tapi bersih juga tampak dalam. Mereka yang tidak nyaman apabila suasana kamar kosnya berantakan, tidak akan konsentrasi belajar bila kamar kotor, tidak pede bila keluar dengan pakaian kusut yang melekat (belum disetrika), risih bila meningggalkan cucian baju terlalu lama, sumpek bila piring atau alat-alat dapur kotor berantakan setelah dipakai, tidak akan membiarkan debu di lantai dan jendela kamar menumpuk hingga ketebalan 1 cm,  selalu memastikan rak buku tersusun rapi dan baju tertata rapi di lemari, senantiasa menjaga kondisi badan dan pakaian bersih dari kotoran dan najis, menjaga tubuh tetap segar (tidak BeBe dan BeMu), selalu memperhatikan kebersihan (halal dan thoyib) makanan yang dimakan. Kalau hal-hal tersebut terjadi pada mereka yang bukan aktivis dakwah maka tidak berlebihan bila mengacungkan jempol untuk mereka, tetapi bila hal-hal tersebut terjadi pada para aktivis dakwah maka rasanya tidak perlu mengacungkan jempol kepadanya, kenapa? Karena itu sudah merupakan suatu kewajaran, keniscayaan untuk semua aktivis dakwah yang notabene pengetahuan keIslamannya lebih banyak. Walapun jujur, ada rasa salut kepada aktivis dakwah yang terus menjunjung tinggi nilai-nilai kebersihan disamping banyak hal-hal lain yang dilakukan oleh para aktivis dakwah yang tidak dilakukan oleh mereka yang bukan aktivis. Tapi, ini bukan suatu yang luar biasa, karena sekali lagi ini merupakan suatu yang memang seharusnya ada pada setiap aktivis, titik.

Paradoks. Ikhwan-akhwat  yang aktif di banyak kegiatan dakwah kampus, bahkan sampai diamanahi di salah satu struktur di suatu daerah, aktivitasnya banyak, ngajar ini itu, syuro ini itu, tapi betah melihat kain cuciannya diremdam sampai berhari-hari (bahkan sebulan lebih) dan menimbulkan banyak efek bagi lingkungan: bau tidak sedap, mendzalimi teman2 kos karena embernya milik bersama, dan akhirnya timbullah makhluk baru bernama “belatung” yang keluar dari rendeman cucian itu!!! #horor. Kasus masak dan nyuci piring tidak kalah horor, baik karena hobi atau kepepet kebutuhan untuk masak tapi sayangnya tidak bertanggung jawab terhadap hobinya. Setelah masak dapur jadi korban, alat-alat masak kotor berantakan serta timbul bau tak sedap. Setiap orang yang ke dapur atau yang melewati dapur rata-rata akan timbul rasa kesel. Ditunggu setengah hari..satu hari..dua hari..tiga hari..tapi alat-alat masak tersebut masih dalam keadaan tragis & mengenaskan. Belum lagi masalah nyapu, ngepel, dll. Jangan mimpi kalau itu akhwat mau membersihkan ruangan umum dikos, wong kamarnya sendiri aja kayak kapal pecah, dia betah-batah aja. Na’udzubillah. Walau kasus yang saya liat dengan mata kepala sendiri adalah akhwat tapi kasus ini juga sangat mungkin terjadi pada ikhwan.

Paradoks ketiga...

Pernah beberapa kali ada teman yang curhat dan bahkan saya pun juga menjadi saksi mata untuk kasus paradoks kali ini. Jadi, ada ikhwah dinegeri antah berantah yang di laptopnya terbukti ada video, film, gambar yang seharuanya tidak dimiliki, misal koleksi film2 Korea, klip video ‘primitif’ (termasuk boyband, girlsband, atau apalah namanya),  lagu-lagu jahiliyah, dll. Entahlah...apa karena sudut pandang yang berbeda mengenai media/sarana berdakwah, yang ‘koleksi-koleksi’ tersebut biasanya menjadi dalih untuk strategi berdakwah. Biar kita tau perkembangan zaman lah, biar kita bisa berdakwah melalui hal-hal yang mereka (objek dakwah) sukai lah, sebagai boomerang untuk menyerang mereka lah, apa lah... Hmm, tapi kok keliatannya tuh ikhlas banget ketika nonton film2 Barat/Korea sampai berjam-jam, Ikhlas juga ketika dengerin musik-musik atau lagu-lagu sampai berjam-jam sampai hafal liriknya, gak kalah ikhlas ketika nonton bola yang dibela-belain bergadang dan nongkrong di depan TV berjama-jam. Bukan karena tidak sadar ikhwan/akhwat melakukan itu semua. Walau gak ada nash yang secara spesifik mengatakan bahwa dengerin musik dan nonton bola itu haram, tapi apakah kuantitias yang sudah kita habiskan untuk melakukan hal-hal tersebut melebihi kuantitas tilawah dan hapalan qur’an kita, kuantitas membaca buku kita, kuantitias mengikuti majelis ilmu, dll? Dihadapi dengan fenomena ini jadi teringat kisah Bilal dan Abu Dzar Al-Ghifari.

Pada suatu hari, Abu Dzar Al-Ghifari terlibat percekcokan dengan Bilal. Karena kesal, Abu Dzar berkata, “Engkau juga menyalahkanku wahai anak perempuan hitam?” Mendengar dirinya disebut dengan anak perempuan hitam, Bilal tersinggung, sedih, dan marah. Ia kemudian melaporkan hal itu kepada Rasulullah Saw. Beliau kemudian menasihati Abu Dzar, “Hai Abu Dzar, benarkah engkau mencela Bilal dengan (menghinakan) ibunya? Sungguh dalam dirimu masih ada perilaku jahiliyah.”

Seandainya Rosulullah SAW ada pada saat ini, mungkin tidak ya kita juga diberi predikat “Sungguh dalam dirimu masih ada perilaku jahiliyah”.

Paradoks keempat...

Salut deh sama teman-teman ikhwah yang disiplin  ketika syuro, bila jadwal syuro jam 6 pagi maka teman-teman jam 6 teng sudah berada di TKP syuro dengan wajah semangat, apalagi kalau dilengkapi dengan hidangan snack sambil mendengarkan lantunan ayat suci dan tausiyah singkat yang sudah menjadi susunan acara baku mengawali bahasan syuro. Ada rasa berdosa ketika datang telat tanpa alasan syar’i bahkan alasan yang dibuat-buat. Paradoksnya, sering juga ditemui pemandangan para aktivis dakwah yang ketika kuliah mulai jam 7 teng tapi kok jam 8 baru terlihat di kelas ya? Ketika di kelas lebih memilih menjadi kaum terbelakang (karena suka dengan tempat duduk bagian belakang), sangat tawadhu’ ketika sedang kuliah dengan posisi wajah tertunduk khusyu’ dan mempersilahkan teman-temannya yang lain untuk berfastabiqul khairat menjawab pertanyaa-pertanyaan dan berdiskusi dengan dosen seputar bahasan kuliah. Saya sangat percaya kalau ikhwah ditanyai alasan kenapa seperti itu jawabannya karena amanah kita banyak. Oke, gak ada yang salah dengan banyaknya amanah, tapi yang membuat risih adalah emang teman-teman dikelas dan dosen mau tau dengan amanah-amanah kita? Karena yang mereka liat adalah tampak luar kita. Jilbab lebar yang suka telat dan ngantukan, mahasiswa berjanggut yang sering bolos dan gak ngumpulin tugas, dll.
Kalau packagingnya gak bagus, gimana orang mau tertarik dengan produknya...

Paradoks kelima...

Hampir rerata teman-teman aktivis yang saya temui (termasuk saya) adalah aktivis yang bukan terlahir dari keluarga aktivis. Jadi pasti punya kisah-kisah menarik yang bersejarah ketika mereka terjebak menjadi yang seperti sekarang, aktivis dakwah. Di saat awal dulu, salah satu yang membuat saya memilih mau terjebak dalam jalan ini adalah karena Sang Bidadari (Murabbiyah/guru ngaji) yang menginspirasi. Kesederhanaan, kegigihan, keikhlasan, kekreativitasan, keprofesionalan, kesholihahan, kecerdasan beliaulah yang membuat saya jatuh hati. Maka apabila ada pertanyaan, siapakah tokoh yang menginsiprasi bagi anda? Dengan lantang saya akan menjawab, MR gue! (selain Rosululloh, sahabat dan para ulama). Dengan izin Allloh lah sampai saat ini saya sudah dikaruniai beberapa orang Bidadari, Alhamdulillah.

Beberapa kisah menarik pernah saya alami bersama bidadari-bidadari tersebut. Pernah suatu ketika ada teman kami sesama aktivis sebut saja X (ketua lembaga dakwah) sedang mengalami kesulitan ekonomi yang bertubi-tubi dan kabar ini pun sudah terdengar dikalangan aktivis. Maka secara khusus genk ngaji kami membahas masalah ini dan akhirnya menghasilkan kesepakatan bahwa kami akan melakukan munashoroh secara periodik sampai keadaan ekonomi keluarganya X membaik dengan tidak memberi tahu X dari mana asal uang bantuan tersebut, munashoroh (penggalangan dana bantuan) secara sembunyi-sembunyi. Hal ini dilakukan dengan pertimbangan bahwa ingin menjaga nama baik X dan keluarga, agar X tidak merasa berhutang budi kepada kami, agar si X tidak merasa ‘tidak enakan’ dan malu ketika berinteraksi dengan kami dalam lembaga dakwah tersebut. Ya, hal tersebut ternyata sebelumnya sudah dicontohkan Sang Bidadari dengan melakukan munashoroh seorang diri, kemudian beliau memprakasai dan memotori aksi munashoro berjama’i. Di lain waktu, salah satu teman genk ngaji kami sebut saja Y mengalami kesulitan untuk datang ngaji dikarenakan jarak rumahnya yang jauh (2 jam perjalanan) dan biaya tranportasi yang cukup mahal sedangkan keuangan teman kami tidak memadai, mungkin alasan tersebut ‘cukup syari’ untuk membuat seseorang tidak berangkat mengaji. Sekali lagi, melihat hal ini, Sang Bidadari tidak akan berdiam diri, terlebih melihat semangat si Y dalam mengaji yang berapi-api. Sekali lagi Sang Bidadari mempelopori dengan aksi ‘infaq sembunyi’ untuk teman kami Y agar ia bisa tetap mengaji. Kisah lainnya adalah, suatu malam di kontrakan akhwat (tempat tinggal saya) tiba-tiba kedatangan seorang tamu tanpa diketahui sebelumnya kalau tamu tersebut akan datang. Dan ternyata orang yang dicari si Tamu tersebut adalah saya. KANGET! Ternyata yang datang adalah sang Bidadari. Dalam hati, pasti ada sesuatu yang penting yang akan disampaikan karena beliau bela-belain datang malam-malam begini dan tanpa memberi kabar sebelumnya. Kemudian kami mengobrol di kamar. “Mbak kok datang malem-malem, biasanya kalau ada apa-apa mbak sms/telpon dulu. Ada apa ya mba?”. Sambil tersenyum, “Gak ada apa-apa dek, cuma mau jenguk anti aja, silaturrahim”. Kemudian beliau mengeluarkan sesuatu dari tasnya, sebuah apel merah yang cantik dan manis. “Ini buat anti, uhibbukifillah” sambil tersenyum kemudian berkata “mbak pamit pulang ya, semoga suka dengan apelnya” sambil tersenyum. Aku membutuhkan waktu beberapa menit untuk mencerna kejadian kilat tersebut. Oh Bidadariku...so sweet banget!!!

Tidak hanya kedekatan mereka (para bidadari) kepada binaannya yang membuat saya terpesona, kedekatan mereka kepada Sang Pencipta Bidadari lah yang mebuat saya lebih terpesona. Karena dengan kedekatan mereka yang baik kepada Alloh SWT, maka dapat dipastikan kedekatan-kedekatan mereka kepada manusia pun akan baik. Tilawah qur’an yang baik, qiyamul lail yang istiqamah, infaq yang terus menerus, semangat tholabul ‘ilmy, tutur kata yang lembut, berbobot dan terjaga, tingkah laku yang sopan santun, kedisiplinan, kesungguhan, keikhlasan mereka yang akan melahirkan generasi-generasi penerus yang baik pula.

Paradoks. Pernah mendengar kasus atau bahkan mengalami sendiri kasus mengenai Murabbi/yah yang nyebelin? Sok sibuk banyak kegiatan, gak perhatian, suka telatan, tilawahnya belepotan, di majelis ilmu jarang keliatan, kamarnya berantakan, dll. Bahkan antara Murabbi dengan Mutarabbinya lebih TOP Mutarabbinya. Hal demikian terjadi dalam kehidupan dakwah kampus. Memalukan sebenarnya. Ada selentingan suara yang berkata: “Murabbi juga manusia”. Ya Murabbi memang manusia, manusia yang harus terdepan dalam kebaikan, dalam keteladanan.

            Seperti pada fenomena paradoks pertama, bahwa timbulnya ketidaksepahaman akan suatu fenomena yang terjadi memang tergantung dari kerangka acuan (sudut pandang) yang digunakan olah masing-masing para pelaku. Berbeda sudut pandang akan berbeda perlakuan dan penyikapan terhadap fenomena paradoks yang terjadi. Pada suatu fenomena, si A mengangap hal tersebut adalah biasa sehingga tak perlu dipermasalhkan, tapi menurut B hal tersebut adalah memalukan dan seharusnya tidak terjadi. Pemecahan bagi paradoks ini terletak pada peninjauan kita yang tidak simetris terhadap peran aktivis dakwah. Sudah semestinyalah sesuatu  hal yang terkait suatu kebaikan (dakwah) harus dilihat dari kerangka acuan yang sama, kerangka acuan Alloh SWT. Sehingga apabila kerangka acuan yang digunakan sudah sama maka fenomena-fenomena paradoks tersebut dapat di minimalisair bahkan seharusnya tidak terjadi. Semoga bisa menjadi hikmah bagi kita semua khususnya saya untuk terus berbenah diri.

-----------
Ini ceritanya catatan kaki gituh...
paradoks : pernyataan yang seolah-olah bertentangan (berlawanan) dengan pendapat umum atau kebenaran, tetapi kenyataannya mengandung kebenaran

1 komentar: