Selasa, 04 September 2012

Reka Adegan Ramadhon Tahun Lalu...


Momen Romadhon di tiap tahunnya pasti memberikan kesan dan hikmah tersendiri untuk setiap pribadi. Termasuk Romadhon ku tahun lalu. Romadhon tahun lalu memberi kesan tersendiri bagi ku karena berbeda dari Ramdhan lainnya. Ya, aku melewati Romadhon tahun lalu didaerah asing bagi ku, Busoa-Batauga-Buton-Sulawesi Tenggara (urutan nasab lokasi, hee). Terletak disebuah pulau kecil di salah satu ujung kaki pulau Sulawesi, daerah yang hampir tidak terlihat di peta Indonesia. Pastinya tidak pernah aku bayangkan sebelumnya.

Ketika teringat Romadhon tahun lalu, langsung terlintas di pikiran ku sebuah reka adegan di malam hari nan gelap gulita, untuk menggambarkan kegelapannya apabila kita sedang berbicara dengan seseorang disebelah kita maka pastikan orang yang kita ajak berbicara adalah orang yang kita kenal, karena kita tidak dapat melihat wajah orang tersebut, tidak tampak jelas karena tidak ada cahaya di malam hari kecuali dari cahaya bintang yang bertebaran indah luar biasa di atas langit, sedang lampu penerangan jalan sangat minim di daerah ini atau bisa dikatakan tidak ada. Salah satu sisi daerah ini dikelilingi oleh perbukitan atau tebing-tebing dan disisi satunya oleh laut yang membentang luas. Itu baru gambaran tentang gelapnya ketika malam hari. Trus ada apa dimalam hari itu? Nah, ini dia kisah yang sering terkenang di kepala ku. Jadi ceritanya begini, aku sebagai salah satu penanggung jawab untuk kegiatan KKN (Kuliah Kerja Nyata) di Masjid Wurugana (nama daerah tersebut), khususnya untuk kegiatan TPA disana. Di daerah ini ada sih TPAnya tapi terpencar-pencar, kegiatannya diadakan di salah satu rumah penduduk setempat dan kegiatannya tergantung ‘keluangan’ waktu dari pengajarnya yang mengajarkan secara suka rela. Untuk pertimbangan kefektifitasan waktu dan agar nuansa syiar Islamnya lebih terasa serta mendorong anak-anak dan remaja agar terbiasa ke masjid maka diputuskan untuk menggabungkan beberapa TPA yang terpencar ini dalam waktu dan tempat yang bersamaan, yaitu pada ba’da maghrib sampai isya di Masjid Wurugana.


Masjid di Wurugana

Walau bagi kami terutama aku sendiri cukup aneh untuk keluar malam di daerah ‘gelap gulita’ ini, karena biasanya kegiatan TPA di beberapa daerah diadakan ketika sore hari. Tapi dengan semangat tinggi dan hati berseri-seri kami jalani amanah ini sepenuh hati #uhuk. Karena peserta yang cukup membludak di awal maka peserta kami kelompok-kelompokkan, dan alhamdulillah beberapa teman subunit juga bersedia membantu sebagai tenaga pengajar. Singkat cerita, aku mendapat kelompok TPA untuk anak remaja putri (SMP) jadi tidak lagi mengajar membaca qur’an (iqra) tapi lebih ke perbaikan bacaan qur’an. Aku bahagia dengan kelompok yang aku pegang, karena rata-rata mereka memiliki suara asli yang bagus walau beberapa bacaan qur’annya masih belum tepat. Karena aku pun masih belajar, jadi cukup memudahkan pekerjaanku. Nah dari kendekatan selama beberapa hari dengan adik-adik kemudian aku mencoba untuk menawarkan sebuah target Tahsin dan Tahfiz qur’an selama sebulan ke depan. Tanpa disangka, mereka dengan antusias menyepakati tawaran ku tersebut, dengan target hafalan surat yang disepakati bersama yaitu menghafal QS.Al-Buruj sampai khatam selama satu bulan ke depan. Sengaja aku membuat target satu bulan karena keberadaan ku di sana diperkirakan hanya tersisa sebulan.

Pilihan surat Al-Buruj pun dipilih tidak ada alasan yang khusus, tapi yang jelas harus salah satu surat di juz 30 karena lebih singkat di banding surat lainnya. Seiring waktu berjalan, awalnya mereka sedikit tertatih-tatih karena belum familiar dengan suratnya, pun juga karena bagi mereka surat ini cukup panjang yaitu sebanyak 1 halaman untuk qur’an pojok. Hampir setiap malam hari (senin-jum’at) lantunan QS.Al-Buruj terdengar di telinga ku dan telinga mereka. Senja hari menjelang maghrib seusai mengajar TPA di Masjid yang lain maka aku langsung bergegas ke Masjid Wurugana, ditempuh dengan berjalan kaki, lumayan juga jaraknya. Ditengah perjalanan sudah banyak pemandangan anak-anak kecil sudah memakai mukena dan berlarian ke arah yang sama, masjid Wurugana. Sebagian mereka ada yang nyamperin aku kemudian berjalan dan ngobrol bersama, ada juga yang tiba-tiba datang dan langsung mengandeng tangan ku. Sungguh, aku merasa senang sekali saat itu. Seolah-olah aku dikelilingi oleh bidadari-bidari kecil yang lucu. Segala kepenatan akan hilang seketika ketika melihat wajah-wajah ceria, bersemangat, polos dan senyum manis mereka.

Suasana seusai TPA yaitu malam hari setelah sholat isya berjama’ah pun tidak kalah mengesankan. Dimalam yang gelap gulita tersebut kami berjalan beriringan menuju rumah masing-masing, cukup ramai karena ada sekitar 50 anak-anak kecil. Sepanjang perjalanan ada yang bersenda gurau, ngobrol, berlari-larian, bernyayi-nyayi “Anak Sholeh”, “Tepuk Wudhu” dan lainnya, walau satu sama lain tidak dapat melihat wajah orang sekeliling dengan jelas. Dan adik-adik sekawanan kelompok ku melakukan muraja’ah (mengulang hafalan) surat al-Buruj yang tiap malam mereka hafalkan beberapa ayat bersama-sama. Sambil memandangi langit atas yang bertaburan banyak sekali bintang, bintang-bintang bertaburan dengan leluasanya berbeda dengan bintang yang berada di daerah perkotaan. Jujur, ini adalah pemandangan bintang terbanyak dan terindah yang pernah aku liat secara langsung tanpa alat bantu (teropong dan kawan-kawannya) dalam keadaan gelap gulita. Terkadang ada juga pemandangan bintang jatuh, yang belum pernah aku liat sebelumnya. Subhanalloh, amazing!!! Suasana langit yang gelap tapi tercerahkan oleh sinar bintang yang bertaburan, begitu pun malam gelap di Wurugana seolah tercerahkan oleh pancaran sinar-sinar dari iringin-iringan bintang manusia yang berpakaian serba putih (mukena) #ngangenin

Beberapa waktu kemudian aku baru sadar dengan surat Al-Buruj yang sedang dihafalkan adik-adik, tanpa ada rencana sebelumnya, sedikit terkesan ‘kebetulan’ ternyata apa yang sedang dihafalkan menggambarkan suasana kami saat itu, bertabur bintang, sesuai dengan arti surat al-Buruj yaitu gugusan bintang. Subhanalloh, membuat hafalah surat al-Buruj bagi aku dan adik-adik semakin berkesan.
Wassamaa idzaatil buruuj (Demi langit yang mempunyai gugusan bintang,)
Wal yawmil maw’uwd (dan hari yang dijanjikan)
Wasyahidiwwamasyhuwd (dan yang menyaksikan dan yang disaksikan.)
...
Walau semakin lama jumlah peserta mengalami penyusutan, begitu pun tenaga pengajar yang mulai menyusut, secara pribadi aku menyebut mereka seperti sebuah judul buku: “Yang Berguguran di Jalan Wurugana” hee, tapi itu semua tidak menyusutkan semangat aku dan adik-adik kelompok ku untuk terus menghafal qur’an. Dihari kepulangan ku, masih tersisa 3 ayat lagi yang belum terselesaiakan hafalannya. Diluar dugaan hari kepulangan KKN dipercepat. Jadi aku meminta adik-adik untuk meneruskannya sampai selesai walau tanpa aku.

Beberapa waktu kemudian, kami (aku dan adik-adik TPA) masih melakukan kontak telpon/sms. Dalam percakapan telpon, aku meminta mereka untuk mengulang hafalan QS.Al-Buruj-nya, dengan terbata-bata dan lupa-lupa ingat mereka membacakannya via telpon:
“kami sudah lupa kak fika” (dengan intonasi suara khas Sulawesi),
“kenapa mi bisa lupa?” jawab ku dengan ikut-ikutan intonasi khas Sulawesi
“Karena tak ada lagi yang mengaji ke masjid kak”,
“kenapa tak mengaji lagi ke masjid?”,
“karena tak ada kak fika lagi yang mengajar mengaji”,
(tertawa) “hey, mengaji itu bukan karena kak fika tapi karena Alloh”
(tertawa) “iya kak, makanya kak fika ke sini lagi”

Jadi termotivasi untuk melakukan banyak hal/manfaat bagi Indonesia tercinta.


Allahummarhamni Bil Quran

Waj’alhu lii Imaaman Wa Nuuran Wa Huda Wa Rohmah
Allahumma Dzakkirni Minhu maa Nasiitu
Wa’allimni Minhu maa Jahiiltu
Warzuqnii Tilaawatahu
Aana Al Laili Wa Aana An Nahaari
Waj’alhu lii Hujjatan
Yaa Rabbal ‘Alamin

Ya Allah Kasih Sayangilah aku
dengan sebab AlQuran ini
Dan jadikanlah AlQuran ini
sebagai pemimpin
sebagai cahaya
sebagai petunjuk
dan sebagai rahmat bagiku

Ya Allah ingatkanlah aku
apa-apa yang aku lupa dalam AlQuran
yang telah Kau jelaskan
dan ajarilah apa-apa yang aku belum mengetahui
Dan karuniailah aku
selalu sempat membaca AlQuran
pada malam dan siang hari
Dan jadikanlah AlQuran ini
sebagai hujjah bagiku
Ya Allah Tuhan semesta alam

------------------------------------------------------------------------
Memasuki 10 hari ke dua Romadhon 1433 H
Yogyakarta, 30 Juli 2012

Kamis, 09 Agustus 2012

SELALU ADA YANG PARADOKS

Toh, anak psikologi ada yang tidak seempati anak eksak...
Toh, anak sastra ada yang bahasanya tidak sebaik dan selembut anak teknik...
Toh, anak eksak kadang tidak selogis anak non eksak ketika menyelesaikan masalah...
Yups...selalu ada yang paradoks.


WARNING : this article not for expose the ignominy, just share...

Paradoks pertama...

Pernah dengar kasus paradoks kembar dalam Teori Relativitas Khususnya Einstein? Digambarkan dalam teori ini bahwa sepasang saudara kembar, sebut saja X dan Y yang bermukim di Bumi. Andaikan salah satunya, X tetap berdiam di Bumi, sedangkan sudara kembarnya Y melakukan perjalanan antariksa dengan sebuah pesawat roket menuju suatu planet yang jauh. X memahami teori relativitas khusus bahwa jam saudaranya Y akan berjalan lambat relatif terhadap jam miliknya. Karena itu Y akan lebih muda daripadanya ketika ia tiba kembali di Bumi. Ini tidak lain merupakan efek dari pemuluran waktu. Dalam teori relavitias khusus, dua pengamat yang bergerak relatif masing-masing akan berpendapat bahwa jam sudara kembarnya yang berjalan lambat. Sedangkan dari sudut pandang Y, bahwa X dan Bumilah (bersama dengan sistem tata sutya dan galaksi) yang melakukan perjalanan pulang-pergi menjauhinya kemudian kembali lagi. Dalam keadaan seperti ini Y akan berpendapat bahwa jam saudara kembarnya X yang berjalan lambat, sehingga bagi Y saudara kembarnya X yang lebih muda daripadanya ketika mereka bertemu kembali.

Memang mungkin saja timbul ketidaksepahaman tentang jam siapakah yang berjalan lambat terhadap jam milik masing-masing saudara kembar ini, namun ini hanyalah masalah pemilihan kerangka acuan. Inilah paradoksnya masing-masing saudara kembar itu memperkirakan bahwa yang lainnya yang lebih muda. Pemecahan bagi paradoks ini terletak pada peninjauan kita yang tidak simetris terhadap peran kedua saudara kembar itu. Hukum-hukum Relativitas Khusus hanya berlaku bagi kerangka lembam yang bergerak relatif terhadap kerangka lainnya dengan kecepatan tetap. Trus hubungannya dengan dakwah kampus? Ya, bila dikaitkan dengan dakwah kampus, saudara kembar tersebut merupakan aktivis-aktivis dakwahnya, waktu/jam adalah fenomena-fenomena yang ada di dakwah dan kerangka acuan merupakan sudut pandang para pelaku dakwah kampus. Oke, itu gambaran singkat kaitan antara Fisika dengan dakwah mengenai paradoks #loh

Paradoks kedua ...

Di dunia ini siapa sih yang gak suka dengan sesuatu yang bersih? Tidak ada. Semua orang menyukai sesuatu yang bersih, baik pakaian bersih, tempat tinggal bersih dan makanan bersih. Tapi sayangnya tidak semua orang yang menyukai kebersihan juga mencintai kebersihan. Loh, bedanya menyukai dengan mencintai apa? Kalau menyukai baru berupa keinginan belum berupa tindakan untuk mewujudkan atau mencapainya jadi belum tentu ada rasa memiliki atau bagian darinya, sedangkan mencintai adalah rasa ingin yang diwujudkan dengan tindakan untuk mencapainya dan merasa bagian darinya (definisi saya sendiri, he).  Jadi belum tentu orang yang suka kebersihan sudah mewujudkan sikap bersih. Oke, kita usah berlama-lama dalam membahas definisi yang penting ngerti maksudnya.

Dari sekian banyak berinteraksi dengan orang-orang, saya menemukan dua macam kategori orang seperti yang saya jelaskan diatas. Yang menarik dari bahsan ini adalah apabila kita hubungkan dengan konteks dakwah kampus, yaitu para pelaku dakwah kampusnya atau bahasa kerennya aktivis dakwah. Kebersihan adalah hal penting yang perlu dibahas dalam dunia dakwah. Karena kebersihan adalah dakwah. Beberapa teman akhwat yang saya kenal, mereka sangat memperhatikan hal ini, mereka tergolong kategori aktivis yang mencintai kebersihan. Mereka tidak hanya bersih tampak luar tapi bersih juga tampak dalam. Mereka yang tidak nyaman apabila suasana kamar kosnya berantakan, tidak akan konsentrasi belajar bila kamar kotor, tidak pede bila keluar dengan pakaian kusut yang melekat (belum disetrika), risih bila meningggalkan cucian baju terlalu lama, sumpek bila piring atau alat-alat dapur kotor berantakan setelah dipakai, tidak akan membiarkan debu di lantai dan jendela kamar menumpuk hingga ketebalan 1 cm,  selalu memastikan rak buku tersusun rapi dan baju tertata rapi di lemari, senantiasa menjaga kondisi badan dan pakaian bersih dari kotoran dan najis, menjaga tubuh tetap segar (tidak BeBe dan BeMu), selalu memperhatikan kebersihan (halal dan thoyib) makanan yang dimakan. Kalau hal-hal tersebut terjadi pada mereka yang bukan aktivis dakwah maka tidak berlebihan bila mengacungkan jempol untuk mereka, tetapi bila hal-hal tersebut terjadi pada para aktivis dakwah maka rasanya tidak perlu mengacungkan jempol kepadanya, kenapa? Karena itu sudah merupakan suatu kewajaran, keniscayaan untuk semua aktivis dakwah yang notabene pengetahuan keIslamannya lebih banyak. Walapun jujur, ada rasa salut kepada aktivis dakwah yang terus menjunjung tinggi nilai-nilai kebersihan disamping banyak hal-hal lain yang dilakukan oleh para aktivis dakwah yang tidak dilakukan oleh mereka yang bukan aktivis. Tapi, ini bukan suatu yang luar biasa, karena sekali lagi ini merupakan suatu yang memang seharusnya ada pada setiap aktivis, titik.

Paradoks. Ikhwan-akhwat  yang aktif di banyak kegiatan dakwah kampus, bahkan sampai diamanahi di salah satu struktur di suatu daerah, aktivitasnya banyak, ngajar ini itu, syuro ini itu, tapi betah melihat kain cuciannya diremdam sampai berhari-hari (bahkan sebulan lebih) dan menimbulkan banyak efek bagi lingkungan: bau tidak sedap, mendzalimi teman2 kos karena embernya milik bersama, dan akhirnya timbullah makhluk baru bernama “belatung” yang keluar dari rendeman cucian itu!!! #horor. Kasus masak dan nyuci piring tidak kalah horor, baik karena hobi atau kepepet kebutuhan untuk masak tapi sayangnya tidak bertanggung jawab terhadap hobinya. Setelah masak dapur jadi korban, alat-alat masak kotor berantakan serta timbul bau tak sedap. Setiap orang yang ke dapur atau yang melewati dapur rata-rata akan timbul rasa kesel. Ditunggu setengah hari..satu hari..dua hari..tiga hari..tapi alat-alat masak tersebut masih dalam keadaan tragis & mengenaskan. Belum lagi masalah nyapu, ngepel, dll. Jangan mimpi kalau itu akhwat mau membersihkan ruangan umum dikos, wong kamarnya sendiri aja kayak kapal pecah, dia betah-batah aja. Na’udzubillah. Walau kasus yang saya liat dengan mata kepala sendiri adalah akhwat tapi kasus ini juga sangat mungkin terjadi pada ikhwan.

Paradoks ketiga...

Pernah beberapa kali ada teman yang curhat dan bahkan saya pun juga menjadi saksi mata untuk kasus paradoks kali ini. Jadi, ada ikhwah dinegeri antah berantah yang di laptopnya terbukti ada video, film, gambar yang seharuanya tidak dimiliki, misal koleksi film2 Korea, klip video ‘primitif’ (termasuk boyband, girlsband, atau apalah namanya),  lagu-lagu jahiliyah, dll. Entahlah...apa karena sudut pandang yang berbeda mengenai media/sarana berdakwah, yang ‘koleksi-koleksi’ tersebut biasanya menjadi dalih untuk strategi berdakwah. Biar kita tau perkembangan zaman lah, biar kita bisa berdakwah melalui hal-hal yang mereka (objek dakwah) sukai lah, sebagai boomerang untuk menyerang mereka lah, apa lah... Hmm, tapi kok keliatannya tuh ikhlas banget ketika nonton film2 Barat/Korea sampai berjam-jam, Ikhlas juga ketika dengerin musik-musik atau lagu-lagu sampai berjam-jam sampai hafal liriknya, gak kalah ikhlas ketika nonton bola yang dibela-belain bergadang dan nongkrong di depan TV berjama-jam. Bukan karena tidak sadar ikhwan/akhwat melakukan itu semua. Walau gak ada nash yang secara spesifik mengatakan bahwa dengerin musik dan nonton bola itu haram, tapi apakah kuantitias yang sudah kita habiskan untuk melakukan hal-hal tersebut melebihi kuantitas tilawah dan hapalan qur’an kita, kuantitas membaca buku kita, kuantitias mengikuti majelis ilmu, dll? Dihadapi dengan fenomena ini jadi teringat kisah Bilal dan Abu Dzar Al-Ghifari.

Pada suatu hari, Abu Dzar Al-Ghifari terlibat percekcokan dengan Bilal. Karena kesal, Abu Dzar berkata, “Engkau juga menyalahkanku wahai anak perempuan hitam?” Mendengar dirinya disebut dengan anak perempuan hitam, Bilal tersinggung, sedih, dan marah. Ia kemudian melaporkan hal itu kepada Rasulullah Saw. Beliau kemudian menasihati Abu Dzar, “Hai Abu Dzar, benarkah engkau mencela Bilal dengan (menghinakan) ibunya? Sungguh dalam dirimu masih ada perilaku jahiliyah.”

Seandainya Rosulullah SAW ada pada saat ini, mungkin tidak ya kita juga diberi predikat “Sungguh dalam dirimu masih ada perilaku jahiliyah”.

Paradoks keempat...

Salut deh sama teman-teman ikhwah yang disiplin  ketika syuro, bila jadwal syuro jam 6 pagi maka teman-teman jam 6 teng sudah berada di TKP syuro dengan wajah semangat, apalagi kalau dilengkapi dengan hidangan snack sambil mendengarkan lantunan ayat suci dan tausiyah singkat yang sudah menjadi susunan acara baku mengawali bahasan syuro. Ada rasa berdosa ketika datang telat tanpa alasan syar’i bahkan alasan yang dibuat-buat. Paradoksnya, sering juga ditemui pemandangan para aktivis dakwah yang ketika kuliah mulai jam 7 teng tapi kok jam 8 baru terlihat di kelas ya? Ketika di kelas lebih memilih menjadi kaum terbelakang (karena suka dengan tempat duduk bagian belakang), sangat tawadhu’ ketika sedang kuliah dengan posisi wajah tertunduk khusyu’ dan mempersilahkan teman-temannya yang lain untuk berfastabiqul khairat menjawab pertanyaa-pertanyaan dan berdiskusi dengan dosen seputar bahasan kuliah. Saya sangat percaya kalau ikhwah ditanyai alasan kenapa seperti itu jawabannya karena amanah kita banyak. Oke, gak ada yang salah dengan banyaknya amanah, tapi yang membuat risih adalah emang teman-teman dikelas dan dosen mau tau dengan amanah-amanah kita? Karena yang mereka liat adalah tampak luar kita. Jilbab lebar yang suka telat dan ngantukan, mahasiswa berjanggut yang sering bolos dan gak ngumpulin tugas, dll.
Kalau packagingnya gak bagus, gimana orang mau tertarik dengan produknya...

Paradoks kelima...

Hampir rerata teman-teman aktivis yang saya temui (termasuk saya) adalah aktivis yang bukan terlahir dari keluarga aktivis. Jadi pasti punya kisah-kisah menarik yang bersejarah ketika mereka terjebak menjadi yang seperti sekarang, aktivis dakwah. Di saat awal dulu, salah satu yang membuat saya memilih mau terjebak dalam jalan ini adalah karena Sang Bidadari (Murabbiyah/guru ngaji) yang menginspirasi. Kesederhanaan, kegigihan, keikhlasan, kekreativitasan, keprofesionalan, kesholihahan, kecerdasan beliaulah yang membuat saya jatuh hati. Maka apabila ada pertanyaan, siapakah tokoh yang menginsiprasi bagi anda? Dengan lantang saya akan menjawab, MR gue! (selain Rosululloh, sahabat dan para ulama). Dengan izin Allloh lah sampai saat ini saya sudah dikaruniai beberapa orang Bidadari, Alhamdulillah.

Beberapa kisah menarik pernah saya alami bersama bidadari-bidadari tersebut. Pernah suatu ketika ada teman kami sesama aktivis sebut saja X (ketua lembaga dakwah) sedang mengalami kesulitan ekonomi yang bertubi-tubi dan kabar ini pun sudah terdengar dikalangan aktivis. Maka secara khusus genk ngaji kami membahas masalah ini dan akhirnya menghasilkan kesepakatan bahwa kami akan melakukan munashoroh secara periodik sampai keadaan ekonomi keluarganya X membaik dengan tidak memberi tahu X dari mana asal uang bantuan tersebut, munashoroh (penggalangan dana bantuan) secara sembunyi-sembunyi. Hal ini dilakukan dengan pertimbangan bahwa ingin menjaga nama baik X dan keluarga, agar X tidak merasa berhutang budi kepada kami, agar si X tidak merasa ‘tidak enakan’ dan malu ketika berinteraksi dengan kami dalam lembaga dakwah tersebut. Ya, hal tersebut ternyata sebelumnya sudah dicontohkan Sang Bidadari dengan melakukan munashoroh seorang diri, kemudian beliau memprakasai dan memotori aksi munashoro berjama’i. Di lain waktu, salah satu teman genk ngaji kami sebut saja Y mengalami kesulitan untuk datang ngaji dikarenakan jarak rumahnya yang jauh (2 jam perjalanan) dan biaya tranportasi yang cukup mahal sedangkan keuangan teman kami tidak memadai, mungkin alasan tersebut ‘cukup syari’ untuk membuat seseorang tidak berangkat mengaji. Sekali lagi, melihat hal ini, Sang Bidadari tidak akan berdiam diri, terlebih melihat semangat si Y dalam mengaji yang berapi-api. Sekali lagi Sang Bidadari mempelopori dengan aksi ‘infaq sembunyi’ untuk teman kami Y agar ia bisa tetap mengaji. Kisah lainnya adalah, suatu malam di kontrakan akhwat (tempat tinggal saya) tiba-tiba kedatangan seorang tamu tanpa diketahui sebelumnya kalau tamu tersebut akan datang. Dan ternyata orang yang dicari si Tamu tersebut adalah saya. KANGET! Ternyata yang datang adalah sang Bidadari. Dalam hati, pasti ada sesuatu yang penting yang akan disampaikan karena beliau bela-belain datang malam-malam begini dan tanpa memberi kabar sebelumnya. Kemudian kami mengobrol di kamar. “Mbak kok datang malem-malem, biasanya kalau ada apa-apa mbak sms/telpon dulu. Ada apa ya mba?”. Sambil tersenyum, “Gak ada apa-apa dek, cuma mau jenguk anti aja, silaturrahim”. Kemudian beliau mengeluarkan sesuatu dari tasnya, sebuah apel merah yang cantik dan manis. “Ini buat anti, uhibbukifillah” sambil tersenyum kemudian berkata “mbak pamit pulang ya, semoga suka dengan apelnya” sambil tersenyum. Aku membutuhkan waktu beberapa menit untuk mencerna kejadian kilat tersebut. Oh Bidadariku...so sweet banget!!!

Tidak hanya kedekatan mereka (para bidadari) kepada binaannya yang membuat saya terpesona, kedekatan mereka kepada Sang Pencipta Bidadari lah yang mebuat saya lebih terpesona. Karena dengan kedekatan mereka yang baik kepada Alloh SWT, maka dapat dipastikan kedekatan-kedekatan mereka kepada manusia pun akan baik. Tilawah qur’an yang baik, qiyamul lail yang istiqamah, infaq yang terus menerus, semangat tholabul ‘ilmy, tutur kata yang lembut, berbobot dan terjaga, tingkah laku yang sopan santun, kedisiplinan, kesungguhan, keikhlasan mereka yang akan melahirkan generasi-generasi penerus yang baik pula.

Paradoks. Pernah mendengar kasus atau bahkan mengalami sendiri kasus mengenai Murabbi/yah yang nyebelin? Sok sibuk banyak kegiatan, gak perhatian, suka telatan, tilawahnya belepotan, di majelis ilmu jarang keliatan, kamarnya berantakan, dll. Bahkan antara Murabbi dengan Mutarabbinya lebih TOP Mutarabbinya. Hal demikian terjadi dalam kehidupan dakwah kampus. Memalukan sebenarnya. Ada selentingan suara yang berkata: “Murabbi juga manusia”. Ya Murabbi memang manusia, manusia yang harus terdepan dalam kebaikan, dalam keteladanan.

            Seperti pada fenomena paradoks pertama, bahwa timbulnya ketidaksepahaman akan suatu fenomena yang terjadi memang tergantung dari kerangka acuan (sudut pandang) yang digunakan olah masing-masing para pelaku. Berbeda sudut pandang akan berbeda perlakuan dan penyikapan terhadap fenomena paradoks yang terjadi. Pada suatu fenomena, si A mengangap hal tersebut adalah biasa sehingga tak perlu dipermasalhkan, tapi menurut B hal tersebut adalah memalukan dan seharusnya tidak terjadi. Pemecahan bagi paradoks ini terletak pada peninjauan kita yang tidak simetris terhadap peran aktivis dakwah. Sudah semestinyalah sesuatu  hal yang terkait suatu kebaikan (dakwah) harus dilihat dari kerangka acuan yang sama, kerangka acuan Alloh SWT. Sehingga apabila kerangka acuan yang digunakan sudah sama maka fenomena-fenomena paradoks tersebut dapat di minimalisair bahkan seharusnya tidak terjadi. Semoga bisa menjadi hikmah bagi kita semua khususnya saya untuk terus berbenah diri.

-----------
Ini ceritanya catatan kaki gituh...
paradoks : pernyataan yang seolah-olah bertentangan (berlawanan) dengan pendapat umum atau kebenaran, tetapi kenyataannya mengandung kebenaran

Jumat, 17 Februari 2012


Adakah kau lupa?


Dulu kita sudah berjanji
Tidak akan mengingkari
Sampai kau kembali
Dengan kebahagiaan yang hakiki
Yang tak tertandingi lagi abadi

Tapi kini...
Kau sering mengingkari janji
Mengumpulkan sebanyak-banyaknya hal duniawi
Merampas hak orang lain yang Aku beri
Tanpa bersalah diri

Katamu:
aku adalah penguasa terhadap diriku
aku bisa melakukan segalanya tanpa Mu
aku akan dapatkan segala yang aku mau
karena aku mampu

Kemudian...
Kau lakukan segalanya tanpa Aku
Mengerjakan proyek pembangunan sampai melupakan Ku
Mengejar award penelitian dan tidak mengikutsertakan Aku
Mencalonkan diri sebagai pemimpin tanpa meminta pendapatKu

Tapi Aku masih kasih kepadamu
Aku sering mengingatkanmu melalui surat-suratku
Aku beri isyarat melalui sekelilingmu
Tapi kau acuhkan itu
Dan pura-pura tidak tau

Kau terpesona oleh hawa
Menghambur-hamburkan harta
Menyalahgunakan tahta
Menangis orang-orang tapi kau tertawa
Hingga makhluk disebelah kirimu lelah dan terpana

Lagi-lagi...
Kau membuat Ku cemburu
Aku yakin kau tau itu
Kembalilah pada Ku
Karena Aku penentu akhir hidupmu

Maaf mu masih Ku nanti
Sebelum akhir amarahKu
Ingatlah kembali dan perbaiki
Janji di 120 hari keberadaanmu
Adakah kau lupa?

Tulisan ini diikutkan dalam lomba SOSIAL COMPETITION 2011